21 October 2009

KAIZEN di kehidupan yang Global

“Jadi kita ulang, kaizen itu, ambil yang baik, buang yang buruk dan ciptakan hal yang baru. Tapi jangan terapkan itu di masjid ya, ntar ke masjid bawa sandal jepit jelek pulang nya bawa sandal kulit”.
Joke seperti itu masih terngiang jelas di kepala ku dulu karena aku pernah terlibat dari kegiatan training sumber daya manusia (sejauh ini, mereka lebih meng-klaim training SDM ketimbang lembaga dakwah) yang ternyata sedikit banyak mampu mengubah jalan hidup ku. Training tersebut ternyata mampu mengubah cara berpikir dan membuat ku menjadi pribadi yang lebih kritis menghadapi segala permasalahan, termasuk menghadapi perbedaan budaya di negara tempat tinggal ku yang baru, Perancis.

Ya, sebenarnya untuk mengimplementasikan materi training yang telah ku dapat tidaklah mudah namun harus terus ku coba. Selama ini, aku merasa belum seratus persen berhasil tapi setidaknya aku berusaha untuk mendekati batas itu. Itulah yang disebut Kaizen, perbaikan terus menerus.

Kehidupan baru ku sekarang ini menuntut diriku untuk lebih memfilter segala kehidupan dunia yg tidak sejalan dengan AlQuran. Padahal negara tempat tinggal ku yang baru ini, hampir semua aktivitas nya jauh dari Kitab Suci ku. Beberapa hal yg bersifat biasa saja disini diantaranya public display affection, minuman alkohol di jual bebas dan menampakkan aurat. Aku percaya ungkapan, "berlian akan semakin mengkilap bila terus ditempa namun akan hilang kilau nya bila didiamkan begitu saja". Sama hal nya dengan istiqamah dan iman. Dia harus senantiasa dijaga dengan cara tetap menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Nya. Aku menganggap, semua hal biasa itu sebagai ujian, karena aku yakin Allah tidak akan memberi cobaan yang hamba Nya tak mampu. Untuk itu, aku pun memilih-milih dalam hal pergaulan untuk menjaga kilau berlian ku.

Namun tidak semua yang ada disini itu buruk. Negara fashion ini ternyata juga memiliki banyak hal positif yang bisa aku kaizen-kan. Hal yang sesungguhnya di Kitab Suci ku sudah tertulis jelas, namun penduduk sini justru lebih mampu menjalankan nya. Ironis bila dibandingkan dengan Indonesia. Contoh pertama, disiplin. Sekedar gambaran, kota ini terlihat hidup pada Kamis malam dimana muda-mudi beredar di klub-klub malam. Dari pengamatanku atas beberapa orang, mereka tetap melaksanakan rutinitas mereka tiap Kamis malam dan tetap beraktivitas pada Jumat pagi keesokan harinya. Kegiatan mereka mencari hiburan tidak mengurangi rasa tanggung jawab untuk tetap bekerja atau belajar keesokan harinya. Contoh lain, di Perancis, pengguna kendaraan bermotor benar–benar mematuhi peraturan lalu lintas. Tidak ada lampu kuning disini. Di Jakarta, lampu kuning mempunyai makna baru yaitu tambah gas agar tidak terkena lampu merah. Selain itu, bila di persimpangan tanpa lampu lalu lintas bisa dipastikan salah satu pihak akan mengalah. Sulit kita temui hal tersebut di Indonesia.

Hal berikutnya yang bisa dikaizenkan adalah ucapan salam dan terima kasih. Setiap bertemu orang walau tidak dikenal namun hidup di daerah yang sama, penduduk Perancis terbiasa mengucapkan sapaan seperti “salut”, “bonjour” atau “bonsoir”. Begitu juga apabila telah mendapatkan bantuan apapun seperti di supermarket atau bis kota, tidak lupa mengucapkan “merci”, “au revoir” atau “bon journee”. Hal simple namun mempunya makna yang cukup berarti. Terkadang aku merasa takjub. Aku pernah menemukan kejadian di Jakarta bahwa seorang satpam menggerutu ketika telah membantu pengunjung di sebuah supermarket, "udah gw bantuin ga bilang makasi lagi". As simple as that.

Hal positif terakhir yang terbesit dalam benak ku adalah sikap menghargai. Di daerah berupa open space, aku mengalami kejadian dimana ada pria dan wanita Perancis yang ingin merokok. meminta izin kepada ku terlebih dahulu dan menanyakan apakah aku terganggu atau tidak. Kejadian lain yang aku alami adalah, banyak pemuda disini terlihat sering memberikan bangku kepada orang yang lebih tua atau terlihat lebih membutuhkan. Padahal, di dalam bis maupun kereta, tidak ada petunjuk seperti halnya di bis transjakarta yang seolah mewajibkan pengguna bis tersebut mengalah kepada ibu hamil, nenek-nenek dan orang cacat. Tapi nyatanya, warga Perancis jauh lebih sadar akan hal ini tanpa perlu diingatkan.

InsyaAllah aku akan melakukan prinsip 3 M, Mulai dari diriku sendiri, Mulai dari hal yang kecil dan Mulai saat ini juga. Semoga, bila aku sudah terbiasa, aku bisa menciptakan hal yang baru di Jakarta, seperti prinsip Kaizen; buang yang buruk, ambil yang baik, ciptakan yang baru.

No comments:

Post a Comment