Tulisan ini tertuang karena hasil pemikiran teman-teman saya yang merupakan orang Indonesia namun sedang bekerja ataupun menuntut ilmu di negara lain. Biasanya saya dan beberapa teman seringkali mengadakan conference baik via ym maupun skype dengan membahas hal-hal dari kurang penting hingga tidak penting (hahaha). Kami melakukan ini karena memiliki kesamaan waktu di malam hari terutama apabila sedang santai. Bahkan biasanya diikuti pula oleh seorang pria dari Indonesia, yang entah kenapa pria ini belum tidur padahal waktu Jakarta sudah dini hari. Apakah dia memang pengangguran atau kuliah tapi tidak jelas. Dua kalimat terakhir benar-benar tidak penting dan sekedar intermezzo. Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya mohon maaf apabila ada pihak yang tidak berkenan karena perbandingan atas pengamatan dan hasil diskusi yang saya lakukan.
Karena seringnya intensitas diskusi tidak penting, saya sering pula akhirnya membandingkan kondisi kehidupan warga Indonesia yang tinggal di Indonesia dan tinggal di negara lain. Bahkan, beberapa jam yang lalu saya berdiskusi ringan dengan seorang kawan yang tinggal di UK untuk bekerja dan ikut istrinya yang akan melanjutkan pendidikan Master. Hasil diskusi dengan pria tersebut pun kembali menambah perbandingan yang berujung pada judul tulisan saya.
Obrolan saya dengan pria UK itu sebenarnya simpel. Bagaimana pemerintah menghargai hak orang cacat untuk beraktivitas. Saya bercerita kepada beliau, tentang hebatnya pemerintah di tempat saya tinggal sekarang. Mulai dari orang cacat yang mendapat tempat khusus untuk menonoton bola di stadion, kemudahan menikmati transportasi umum hingga kemanan berjalan di trotoar. Pria yang berprofesi sebagai arsitek itu pun menjelaskan bahwa, selama ini di Indonesia, selama dia menjalankan profesinya itu, dia dan rekan-rekan nya sesama arsitek selalu mendesain bangunan dengan memikirkan keberadaan orang cacat. Namun lebih lanjut, dia menambahkan karena beberapa faktor akhirnya hal tersebut dihilangkan.
Faktor yang dimakusd diantaranya, apabila itu proyek pemerintah, biasanya budget sudah disunat sehingga harus mengorbankan pembangunan fasilitas untuk orang cacat. Dan apabila pembangunan dilaksanakan oleh pihak swasta, mereka lebih memikirkan untuk menghemat biaya karena layanan untuk orang cacat, (menurut si pemegang proyek) akan menghambur-hamburkan uang.
Selain mengenai public service, hal yang kurang diperhatikan oleh pemerintah adalah merawat bangunan bersejarah. Saya juga sering melihat beberapa perumahan di daerah Bandung (termasuk rumah nenek saya sendiri). Perumahan tersebut banyak yang sudah berdiri sejak sebelum merdeka namun pemerintah tidak memberi perhatian lebih hingga akhirnya pemilik rumah tersebut merenovasi dengan biaya sendiri. Saya membandingkan dengan sebuah gereja di daerah Berlin, dimana gereja tersebut pernah menjadi korban pada waktu Perang Dunia Kedua tapi tetap bisa dijadikan tempat beribadah. Pemerintah Jerman pun melestarikan tempat tersebut dan menjadikan museum lalu membangun gereja baru di sebelah bangunan lama untuk dijadikan tempat beribadah.
Lebih lanjut, hal ini sudah berlangsung sejak lama dan terkadang membuat para arsitek “gondok” karena karya nya menjadi tidak sempurna. Bahkan ada beberapa dari rekan nya yang memutuskan lebih memilih berkarya di negara lain. Berhubungan dengan memilih berkarya di negara lain karena faktor apresiasi dari pemerintah, saya pernah melihat tayangan Kick Andy di sebuah stasiun TV berita Indonesia. Lalu saya dan dua orang teman dari Berlin dan Zimbabwe berdiskusi mengenai hal ini. Hingga mencapai titik bahwa rendah pula apresiasi pemerintah pada sumbangsih warga. Memang, untuk hal ini ada faktor X seperti keterbatasan kondisi keuangan dan banyak hal yang urgensi nya lebih tinggi. Namun, apabila dipikir lebih dalam, berapa banyak Indonesia telah kehilangan warganya yang mempunyai kemampuan brilian yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kemajuan negara*.
Entah, apakah pemerintah terlalu sibuk mengurus keadaan negara atau sibuk mengurus lingkungan sekitar, tapi tiga hal tersebut yang berhubungan dengan public service, bangunan bersejarah dan penghargaan terhadap ilmu ternyata sudah menjadi lagu lama yang melulu dibahas tanpa ada respon konkrit. Padahal Indonesia sudah merdeka sejak tahun 1945, jauh lebih dulu dibanding Jerman yang masih ada konflik hingga tahun 1989, namun Jerman bisa jauh lebih maju dan berkembang.
Saya tidak membenci keadaan pemerintah seperti itu, namun saya dan teman-teman generasi muda lah yang sebaiknya bisa mengubah keadaan tersebut di masa mendatang. Toh nyatanya, jika saya melihat Indomie goreng dipajang di Toko Asia di daerah Eropa, saya bangga bukan main. Sama senangnya bila mendapatkan easy money di Jakarta seperti mengawas ujian S1 di UI selama 2 jam dengan upah senilai Rp. 50.000 yang bisa digunakan untuk membeli bensin sendiri.
Mungkin pada akhirnya, semua berujung pada sebuah dilemma of happiness dimana kita bisa mendapatkan kesenangan baik hidup di Indonesia maupun diluar namun tidak secara utuh bila kita memilih salah satu nya. Akan berbeda jika kesenangan pada dua sisi tersebut kita kombinasikan pada satu wadah.
*Tulisan ini saya tulis diluar konteks nasionalisme dan pengabdian pada negara (saya tidak memasukkan kedua unsur tersebut)
No comments:
Post a Comment