29 September 2009

the more you give, the more you get


Well tiba2 mood nulis gw muncul.. tapi plis, ga ada bermaksud riya sama sekali lhoo.. mmh guess what, dikelas sempet blank sesaat gr2 keinget sebuah thread message di FB dr kawan yang bernama Erry yg ngajakin ngumpulin “kertas dan mashab2” tulisan gw dan tmn2 yg laen dalam sebuah buku.. gawat namun untungnya sesaat dan gw mau ngelontarin ide yang di mulai aja dari sebuah blog gabungan, inget gabungan lhoo.. Selesainya kuliah gw td, niat pengen ngejalanin ide dr kawan tersebut aah. Just simple, its very interesting aja, lo melakukan sesuatu yang baru.

Bubaran kelas, gw udah niat bgt bwt ke masjid. Soal nya waktu zuhur udah mau abis dan gw takut ga kekejar klo harus di kamar. Sesampainya di Pusat Kebudayaan Islam, gw kaget ngeliat keramean di dkt “masjid”, soalnya pas gw sampe disana, itu 20 menitan lagi menuju ashar jd awal nya gw kira udah telat dan masuk waktu ashar.. eh ternyata pas gw tanya, mereka yg lagi ngumpul itu abis ngecat tembok masjid yg ada coret2an dr tangan nakal.. wow ternyta ga hanya di Indonesia aja. Tapi yg parah, ini masjid lhoo dan gw ga abis pikir aja kenapa bisa kejadian hal kayak gini.


Gw ga banyak berbincang, soalnya keburu waktu zuhur abis.. Nah selesai solat, gw iseng2 nanya. Ada kalender masjid yg isinya jadwal solat ga.. Just info aja, bagi anak rantau, jadwal solat yg bener2 terpercaya tuh susah. Bayangin aja, senen kmrn gw solat subuh jam 06.20 waktu website http://www.islamicfinder.org/ eh ternyta waktu masjid gw 06.48.. Perbedaan yg jauh kan. Makanya gw nanya kalender solat dr petugas masjid. Gw bertanya kepada lelaki paruh baya yg td gw tanyain soal ada keramean apa.. Trnyta dy bilang ada, dan dy menunjuk ke arah karpet gt, dan gw ambil atas permintaan dy. Trs pas gw tanya berapa harganya dlm bhs perancis, dy hanya geleng2 aja.. Gw tanya, ini gratis, dy ngangguk. Gw jadi bingung. Akhirnya tuh laki-laki, ngambil kalender dr tangan gw, trs dia memperagakan dengan memberi kalender itu ke gw dan langsung taro di tas gw. Wow alhamdulillah bgt. Minimal sampe akhir taun ini, jadwal solat wajib nya aman dan ketahuan dengan jelas.


Gw bersyukur banget, soalnya dapet dobel.. Bisa solat wajib tanpa harus dijama dan bisa dapet kalender, barang yg simple namun berharga bgt. Gw jd inget, sebelum pergi dinasehatin banyak orang untuk tetep sholat dan alhamdulillah jalan untuk itu di permudah.. Dan wejangan lain nya, “apa yg lo tanam, itu yg akan lo dapet”, dalam versi bule nya “what you give is what you get”. Mungkin gw ngerasa, hanya ngasi sebuah niat baik, dapat sesuatu yg lebih.


Semoga bisa jadi insight buat yang baca yaa. Bonnuit

25 September 2009

Renungan Pasca Idul Fitri



Berikut, ada tulisan sangat bagus dari Prof. Amin Abdullah. Bagi yang ragu akan fungsi puasa yang membebaskan, semoga keraguan itu berubah menjadi sebuah keyakinan... Bagi yang berpuasa sekedar ritual, moga makin paham dengan tujuan syar'i dari puasa itu. Laysa al-'iid liman labisa al-jadid, walakinnal 'id liman taqwahu yaziid (bukanlah idul fitri itu bagi yang bajunya bagus (kebagusan lahiriah), tetapi idul fitri adalah bagi yang takwanya (kebagusan batiniyah) bertambah. Semoga takwa (inspiratif, kreatif, inovatif, transformatif serta liberatif ) kita bertambah.
Amin... Selamat Membaca
Renungan Idul Fitri
Idul Fitri dan Asketisme Sosial
Sabtu, 19 September 2009 02:51 WIB
Oleh HM Amin Abdullah

Salah satu hari besar Islam yang paling fenomenal dan monumental adalah Idul Fitri. Secara asketis, Idul Fitri sering disebut sebagai momen penyucian diri kembali pada sifat fitri setiap manusia.

Namun, perayaan yang bersifat masif, serentak, dan penuh sukacita itu justru telah menggeser Idul Fitri dari makna transendennya. Di sini, Idul Fitri tidak lagi bermakna perayaan kemenangan dari ritual olah batin dan fisik sebagai laku asketis selama sebulan penuh menjalankan ibadah puasa. Idul Fitri telah masuk perangkap semiotika dalam berbagai dimensi kehidupan sosial dan kebudayaan kontemporer.

Secara sosial, Idul Fitri merupakan saat paling ditunggu-tunggu setiap orang, bahkan oleh narapidana yang berharap mendapat remisi. Idul Fitri juga mampu menggerakkan arus besar migrasi masyarakat urban, bahkan perputaran keuangan saat mudik, berlangsung secara masif sebagai suatu ritual sosial.

Tidak hanya itu, secara subtil Idul Fitri mampu mendorong pejabat membuka hati dan pintu rumahnya untuk saling memberi maaf kepada sesama dan kaum papa, dan kini menjadi tren silaturahim massal. Sedangkan dalam kebudayaan kontemporer, Idul Fitri menjadi ajang munculnya berbagai kebudayaan populer melalui penampakan tren busana yang selalu berganti setiap Lebaran atau hadirnya berbagai ragam musik dan jenis hiburan religius.

Pendek kata, Idul Fitri bukan saja sarat makna asketistik-spiritua listik yang bersifat transenden, tetapi benar-benar tumpah dalam bentangan luas fenomena sosial. Meski demikian, justru di sinilah letak paradoks makna Idul Fitri. Jika secara asketis Idul Fitri bermakna penyucian diri yang dirayakan setiap tahun, mengapa bangsa yang mayoritas berpenduduk Muslim ini belum beranjak ke arah penyucian diri sebagai sebuah bangsa?

Nafsu libidinal

Sebagai bangsa yang religius secara jujur harus mengakui, segala dimensi kehidupan kita masih menunjukkan nafsu libidinal yang tinggi terhadap segala bentuk kebutuhan materiil dan imateriil. Dalam sektor politik misalnya, nafsu libidinal imateriil itu mewujud dalam praktik pencitraan atau pembentukan pesona tiada henti sehingga yang tersaji hanya kepalsuan-kepalsuan . Demikian juga dalam sektor sosial. Nafsu libidinal menampakkan bentuknya dalam konsumsi gengsi dan corak mode tingkat tinggi sehingga mampu menstrukturisasi kelas masyarakat.

Sementara dalam sektor agama, nafsu libidinal justru gamblang terlihat dalam berbagai simulasi religius sehingga yang muncul adalah spiritualisme artifisial yang semu penuh kepura-puraan. Puncak nafsu libidinal material secara nyata dapat dilihat dalam berbagai praktik korupsi yang belakangan kian merajalela menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nafsu libidinal seakan menyumbat saraf sensitivitas sosial kita. Kita tidak lagi menjadi peka terhadap penderitaan orang lain seperti fakir miskin, korban gempa, atau siapa pun yang kurang beruntung pada perayaan Idul Fitri tahun ini. Kepedulian terhadap sesama seakan selesai dan berhenti seiring ditunaikannya kewajiban membayar zakat fitrah pada malam Idul Fitri.
Kesalehan individual yang dibentuk dalam Ramadhan tidak meluber dalam bentuk kesalehan sosial.

Padahal, kesalehan individual seharusnya berdiri sebangun dengan kesalehan sosial. Ketimpangan itu dimungkinkan terjadi karena puasa yang dijalankan bersifat seremonial religius sebatas menahan haus dan lapar. Jika benar, mungkin tepat sinyalemen Nabi bahwa banyak orang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga, karena intisari dan hikmah puasa belum menyentuh kesadaran paling dalam umat dan belum mampu membentuk pribadi manusia beragama / beriman yang matang, utuh, tangguh, yang dapat mempertautkan kesalehan individu, kesalehan sosial, dan kesalehan lingkungan dalam kehidupan luas.

Ritus peralihan

Falsafah ibadah puasa menegaskan perlunya dilakukan ”turun mesin” kejiwaan selama sebulan dalam setiap tahun. ”Turun mesin” merupakan proses meneliti, memeriksa onderdil dan hal-hal yang rusak, serta memperbaiki total. Saat turun mesin, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Semua harus transparan, akuntabel, rela diperiksa, dikoreksi, dan diperbaiki. Semua peralatan dibongkar, dicek, dan diperiksa satu per satu lalu dilakukan perbaikan.

Karena itu, kegunaan praktis ibadah puasa adalah sebagai titik balik perubahan dan ritus peralihan. Berubah dan beralih dari satu keadaan ke keadaan lain yang lebih baik sehingga terbentuk kepribadian yang memiliki cara pandang yang inspiratif (membawa ide-ide segar), inovatif (mampu memperbaiki dan memperbarui) , kreatif (mampu menciptakan pilihan baru), dan transformatif (dapat mengubah) dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Di sinilah makna keberagamaan yang sehat mewujud karena memiliki kemampuan membawa perubahan hidup yang dinamis, menggugah, dan imperatif. Terbentuknya cara berpikir, mentalitas, cara pandang, pandangan dunia, dan etos keagamaan baru setelah mengalami turun mesin sebulan adalah bagian tak terpisahkan dan termasuk tujuan utama disyariatkan ibadah puasa.

Laisa al-’id liman labisa al-jadid, wa lakinna al-’idu liman taqwa hu yazid (Hari raya Idul Fitri bukan bagi orang-orang yang mengenakan baju baru, tetapi bagi orang-orang yang takwanya bertambah). Yakni bagi mereka yang mempunyai kemauan, semangat, dan etos untuk terus memperbaiki kehidupan pribadi, keluarga, dan sosial-kemasyarakat an, sosial-politik, berbangsa dan bernegara dengan landasan keagamaan yang otentik.

Nilai-nilai yang mendasar dan tujuan pokok ini sering tidak tampak di permukaan karena tertindih semangat dan sibuknya orang menyiapkan hal-hal terkait puasa berupa sahur dan berbuka pada bulan Ramadhan. Mudah-mudahan dengan mengenal tujuan syar’iy ibadah puasa, umat Islam selalu dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup keagamaan sehari-hari dalam masa sebelas bulan mendatang.

HM Amin Abdullah Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

My Monthversarry


I love my princess wrabbit much.. Wish me luck yaa for my Loooooong Distance Relatisionship ;)

21 September 2009

Happy Bday To My Princess Wrabbit


semoga semua yang kamu inginkan tercapai neng.. wish u all d best, termasuk di berikan kesabaran ekstra dlm menunggu aku ;)

Amin yra

Eid Mubarrak at Rennes











Bismillah

Hari ini, merupakan hari spesial bagi umat muslim di seluruh dunia tanpa terkecuali termasuk saya. Namun bagi sosok saya, hari ini merupakan sesuatu yang baru. Beda dari rutinitas tiap tahun yang selalu melakukan dan segala aktifitas silaturahim lain nya. Beda dari sisi waktu, tempat dan juga keluarga. Disini tidak ada mudik ke Bandung, namun hanya kumpul bersama “keluarga” baru, yakni sesama pelajar Indonesia di kota Rennes.
Perbedaan terasa ketika menunggu pengumuman Sholat Ied. Tahun lalu, sangat jelas tertanam di benak setiap puasa hari terakhir selalu kumpul bersama keluarga besar dengan makanan berupa tahu kosong dan cabe rawit diiringi teh manis dan qurma. Namun kemaren, cukup dengan teh manis rasa mango dan langsung diiringi dengan makan besar berupa daging rendang. Lumayan cukup mengobati rasa kangen akan masakan Indonesia. Pembicaraan pun hanya sebatas ngalor ngidul antara anggota keluarga baru yang berisi sang ketua PPI Rennes beserta istri dan anak, 2 orang franchopone dan 4 anak pendatang baru termasuk saya. Memang, saya bersama keluarga baru memutuskan tidak pergi ke KBRI yang berada di Paris yang notabena kata nya mempunyai segudang acara. Malam takbiran hanya diisi dengan sholat berjamaah dan setelah itu, kami semua menyendiri dengan laptop masing-masing, sibuk berkomunikasi dengan keluarga asli yang letak nya jauh di belahan benua lain. Pembicaraan sesama keluarga baru hanya sebatas hal-hal ringan seperti topik kuliah dan jalan-jalan. Tahun lalu, saya masih dapat mendengar iringan pemuda yang konvoy membawa beduk sambil mendaungkan takbir. Malam kemarin, situasi kontras terjadi karena disini sepi seperti hal-hal nya malam biasa.

Bangun pukul 06.20, tepat waktu subuh di kota saya ini. Ternyata sama saja, tidak ada perubahan. Tidak ada gema takbir sama sekali. Akhirnya hanya saya dan anak baru yeng mendaungkan itu dengan volume kecil. Sekedar info saja, sholat Ied dikota saya dilaksanakan pukul 09.15. Waktu yang terasa sangat berbeda bila dibandingkan dengan Indonesia. Suasana berbeda kembali hadir ketika menemui rombongan warga Malaysia dan beberapa kaum muslimin dari negara lain. Saya yakin mereka muslimin dari pakaian yang dikenakan nya. Bertemu rombongan seperti ini, sedikit mengobati rasa rindu akan solat Ied di Indonesia. Tahun lalu, saya bersama keluarga asli saya jalan bersama-sama dari rumah ke tempat solat bersama jamaah lain nya. Tiba di “masjid”, (Sekedar mengingatkan, disini tidak dikenal dengan istilah masjid, namun berupa Pusat Kebudayaan Islam. Dan tempat saya sholat merupakan yang terbesar di kota saya dan terdekat dengan asrama saya)., suasana tahun lalu kembali hilang. Kali ini sholat ternyata diadakan di dalam ruangan, mungkin karena faktor agama minoritas sepertinya jadi tidak mungkin di tempat terbuka.

Disini saya menemukan kembali suasana Ied khas Indonesia. Semua jamaah mengumandangkan takbir dan ada beberapa pengurus yang membagikan kertas bacaan takbir. Bahkan sebelum masuk ruangan pun, disediakan cemilan ringan seperti kurma roti susu teh dan kopi. Ruangan terlihat sempit karena banyak nya jamaah sholat sehingga membuat posisi duduk terasa kurang nyaman dan bahkan menurut rekan pelajar wanita, posisi berdirinya sulit untuk melakukan sujud karena sangat berdempetan. Selesai sholat, dilanjutkan dengan ceramah yang disampaikan dalam bahasa Arab. Ceramah ini sedikit banyak membuat saya melamun, teringat sholat jumat pada waktu umroh yang dilanjutkan bayangan mengenai lebaran di kampung halaman. Tapi karena penceramah membawakan materi dengan bersemangat dan senggolan dari kanan kiri yang kesempitan cukup membuat saya kembali tersadar.

Selesai sholat, banyak hal yang tak terduga saya alami. Seperti sapaan ramah para jamaah di sertai salam semut membuat saya serasa berada di zona nyaman karena sebuah bahasa, agama Islam. Bincangan ringan pun tercipta ketika saya bertemu salah satu staf pengajar di kampus saya. Beliau memang tidak mengajar di mata kuliah yang saya ambil namun saya bertemu beliau di acara orientasi kampus. Dia berasal dari Aljazair dan membawa seorang putri. Perbincangan yang sedikit menghibur saya disaat pikiran terus melayang ke tanah kelahiran. Dia pun memperkenalkan saya kepada kawan nya dan begitu juga saya sebaliknya. Selepas berbincang, saya dan kawan-kawan mengambil cemilan sambil menuju ke arah keluar. Disana kembali berbincang dengan jamaah asal Malaysia. Saya sebelumnya sudah pernah bertemu dengannya. Hal ini mengingatkan pesan dari Erry, seorang sahabat di Jakarta, bahwa minoritas bila kumpul bersama pasti akan kuat dan kokoh. Dan saya merasakan hal tersebut dalm bentuk kebersamaan. Walau saya kehilangan kesempatan bersilaturahim dengan keluarga terdekat disertai ketupat dan opor ayam, hal tersebut bisa di alihkan dengan silaturahim dan kumpul bersama keluarga baru disini, PPI.

Terlepas dari kejadian apapun, saya sunggu bersyukur atas apa yang saya dapat di lingkungan baru ini. Pengalaman merupakan sesuatu yang sangat berharga. Hal ini pun kembali mengarah pada quotes seorang kawan, Afrizal, bahwa Indonesia itu memang surga untuk beribadah. Lingkungan yang mendukung, cuaca dan perputaran waktu yang konstan sangatlah nyaman untuk kita melakukan aktifitas tersebut. Saya harus kembali mensyukuri masa-masa di Indonesia tersebut.

Demikian kisah saya di hari penuh kasih, Idul Fitri, di negara yang Islam bukan sebagai agama terbesar. Akhir kalimat, saya ingin mengucapkan Selamat Idul Fitri. Mohon Maaf Lahir Batin. Semoga kita bisa menjadi hamba Allah yang lebih baik lagi.