Bismillah
Hari ini, merupakan hari spesial bagi umat muslim di seluruh dunia tanpa terkecuali termasuk saya. Namun bagi sosok saya, hari ini merupakan sesuatu yang baru. Beda dari rutinitas tiap tahun yang selalu melakukan dan segala aktifitas silaturahim lain nya. Beda dari sisi waktu, tempat dan juga keluarga. Disini tidak ada mudik ke Bandung, namun hanya kumpul bersama “keluarga” baru, yakni sesama pelajar Indonesia di kota Rennes.
Perbedaan terasa ketika menunggu pengumuman Sholat Ied. Tahun lalu, sangat jelas tertanam di benak setiap puasa hari terakhir selalu kumpul bersama keluarga besar dengan makanan berupa tahu kosong dan cabe rawit diiringi teh manis dan qurma. Namun kemaren, cukup dengan teh manis rasa mango dan langsung diiringi dengan makan besar berupa daging rendang. Lumayan cukup mengobati rasa kangen akan masakan Indonesia. Pembicaraan pun hanya sebatas ngalor ngidul antara anggota keluarga baru yang berisi sang ketua PPI Rennes beserta istri dan anak, 2 orang franchopone dan 4 anak pendatang baru termasuk saya. Memang, saya bersama keluarga baru memutuskan tidak pergi ke KBRI yang berada di Paris yang notabena kata nya mempunyai segudang acara. Malam takbiran hanya diisi dengan sholat berjamaah dan setelah itu, kami semua menyendiri dengan laptop masing-masing, sibuk berkomunikasi dengan keluarga asli yang letak nya jauh di belahan benua lain. Pembicaraan sesama keluarga baru hanya sebatas hal-hal ringan seperti topik kuliah dan jalan-jalan. Tahun lalu, saya masih dapat mendengar iringan pemuda yang konvoy membawa beduk sambil mendaungkan takbir. Malam kemarin, situasi kontras terjadi karena disini sepi seperti hal-hal nya malam biasa.
Bangun pukul 06.20, tepat waktu subuh di kota saya ini. Ternyata sama saja, tidak ada perubahan. Tidak ada gema takbir sama sekali. Akhirnya hanya saya dan anak baru yeng mendaungkan itu dengan volume kecil. Sekedar info saja, sholat Ied dikota saya dilaksanakan pukul 09.15. Waktu yang terasa sangat berbeda bila dibandingkan dengan Indonesia. Suasana berbeda kembali hadir ketika menemui rombongan warga Malaysia dan beberapa kaum muslimin dari negara lain. Saya yakin mereka muslimin dari pakaian yang dikenakan nya. Bertemu rombongan seperti ini, sedikit mengobati rasa rindu akan solat Ied di Indonesia. Tahun lalu, saya bersama keluarga asli saya jalan bersama-sama dari rumah ke tempat solat bersama jamaah lain nya. Tiba di “masjid”, (Sekedar mengingatkan, disini tidak dikenal dengan istilah masjid, namun berupa Pusat Kebudayaan Islam. Dan tempat saya sholat merupakan yang terbesar di kota saya dan terdekat dengan asrama saya)., suasana tahun lalu kembali hilang. Kali ini sholat ternyata diadakan di dalam ruangan, mungkin karena faktor agama minoritas sepertinya jadi tidak mungkin di tempat terbuka.
Disini saya menemukan kembali suasana Ied khas Indonesia. Semua jamaah mengumandangkan takbir dan ada beberapa pengurus yang membagikan kertas bacaan takbir. Bahkan sebelum masuk ruangan pun, disediakan cemilan ringan seperti kurma roti susu teh dan kopi. Ruangan terlihat sempit karena banyak nya jamaah sholat sehingga membuat posisi duduk terasa kurang nyaman dan bahkan menurut rekan pelajar wanita, posisi berdirinya sulit untuk melakukan sujud karena sangat berdempetan. Selesai sholat, dilanjutkan dengan ceramah yang disampaikan dalam bahasa Arab. Ceramah ini sedikit banyak membuat saya melamun, teringat sholat jumat pada waktu umroh yang dilanjutkan bayangan mengenai lebaran di kampung halaman. Tapi karena penceramah membawakan materi dengan bersemangat dan senggolan dari kanan kiri yang kesempitan cukup membuat saya kembali tersadar.
Selesai sholat, banyak hal yang tak terduga saya alami. Seperti sapaan ramah para jamaah di sertai salam semut membuat saya serasa berada di zona nyaman karena sebuah bahasa, agama Islam. Bincangan ringan pun tercipta ketika saya bertemu salah satu staf pengajar di kampus saya. Beliau memang tidak mengajar di mata kuliah yang saya ambil namun saya bertemu beliau di acara orientasi kampus. Dia berasal dari Aljazair dan membawa seorang putri. Perbincangan yang sedikit menghibur saya disaat pikiran terus melayang ke tanah kelahiran. Dia pun memperkenalkan saya kepada kawan nya dan begitu juga saya sebaliknya. Selepas berbincang, saya dan kawan-kawan mengambil cemilan sambil menuju ke arah keluar. Disana kembali berbincang dengan jamaah asal Malaysia. Saya sebelumnya sudah pernah bertemu dengannya. Hal ini mengingatkan pesan dari Erry, seorang sahabat di Jakarta, bahwa minoritas bila kumpul bersama pasti akan kuat dan kokoh. Dan saya merasakan hal tersebut dalm bentuk kebersamaan. Walau saya kehilangan kesempatan bersilaturahim dengan keluarga terdekat disertai ketupat dan opor ayam, hal tersebut bisa di alihkan dengan silaturahim dan kumpul bersama keluarga baru disini, PPI.
Terlepas dari kejadian apapun, saya sunggu bersyukur atas apa yang saya dapat di lingkungan baru ini. Pengalaman merupakan sesuatu yang sangat berharga. Hal ini pun kembali mengarah pada quotes seorang kawan, Afrizal, bahwa Indonesia itu memang surga untuk beribadah. Lingkungan yang mendukung, cuaca dan perputaran waktu yang konstan sangatlah nyaman untuk kita melakukan aktifitas tersebut. Saya harus kembali mensyukuri masa-masa di Indonesia tersebut.
Demikian kisah saya di hari penuh kasih, Idul Fitri, di negara yang Islam bukan sebagai agama terbesar. Akhir kalimat, saya ingin mengucapkan Selamat Idul Fitri. Mohon Maaf Lahir Batin. Semoga kita bisa menjadi hamba Allah yang lebih baik lagi.
No comments:
Post a Comment